Peristiwa 10 November merupakan peristiwa sejarah perang
antara Indonesia dan Belanda. Pada 1 Maret 1942, tentara Jepang mendarat di
Pulau Jawa, dan tujuh hari kemudian, tepatnya, 8 Maret, pemerintah kolonial
Belanda menyerah tanpa syarat kepada Jepang. Sejak itu, Indonesia diduduki oleh
Jepang.
Tiga tahun kemudian, Jepang menyerah tanpa syarat kepada
sekutu setelah dijatuhkannya bom atom (oleh Amerika Serikat) di Hiroshima dan
Nagasaki. Peristiwa itu terjadi pada Agustus 1945. Mengisi kekosongan tersebut,
Indonesia kemudian memproklamirkan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945. Sebelum
dilucuti oleh sekutu, rakyat dan para pejuang Indonesia berupaya melucuti
senjata para tentara Jepang. Maka timbullah pertempuran-pertempuran yang
memakan korban di banyak daerah. Ketika gerakan untuk melucuti pasukan Jepang
sedang berkobar, tanggal 15 September 1945, tentara Inggris mendarat di
Jakarta, kemudian mendarat di Surabaya pada 25 Oktober. Tentara Inggris
didatangkan ke Indonesia atas keputusan dan atas nama Sekutu, dengan tugas
untuk melucuti tentara Jepang, membebaskan para tawanan yang ditahan Jepang,
serta memulangkan tentara Jepang ke negerinya. Tetapi, selain itu, tentara
Inggris juga membawa misi mengembalikan Indonesia kepada pemerintah Belanda
sebagai jajahannya. NICA (Netherlands Indies Civil Administration) pun
membonceng. Itulah yang meledakkan kemarahan rakyat Indonesia di mana-mana.
Di Surabaya, dikibarkannya bendera Belanda,
Merah-Putih-Biru, di Hotel Yamato, telah melahirkan Insiden Tunjungan, yang menyulut
berkobarnya bentrokan-bentrokan bersenjata antara pasukan Inggris dengan
badan-badan perjuangan yang dibentuk oleh rakyat. Bentrokan-bentrokan
bersenjata dengan tentara Inggris di Surabaya, memuncak dengan terbunuhnya
Brigadir Jenderal Mallaby, (pimpinan tentara Inggris untuk Jawa Timur), pada 30
Oktober.
Setelah terbunuhnya Brigadir Jenderal Mallaby,
penggantinya (Mayor Jenderal Mansergh) mengeluarkan ultimatum yang merupakan
penghinaan bagi para pejuang dan rakyat umumnya. Dalam ultimatum itu disebutkan
bahwa semua pimpinan dan orang Indonesia yang bersenjata harus melapor dan
meletakkan senjatanya di tempat yang ditentukan dan menyerahkan diri dengan
mengangkat tangan di atas. Batas ultimatum adalah jam 6.00 pagi tanggal 10
November 1945.
Ultimatum tersebut ditolak oleh Indonesia. Sebab,
Republik Indonesia waktu itu sudah berdiri (walaupun baru saja
diproklamasikan), dan Tentara Keamanan Rakyat (TKR) sebagai alat negara juga
telah dibentuk.
Selain itu, banyak sekali organisasi perjuangan yang telah
dibentuk masyarakat, termasuk di kalangan pemuda, mahasiswa dan pelajar.
Badan-badan perjuangan itu telah muncul sebagai manifestasi tekad bersama untuk
membela republik yang masih muda, untuk melucuti pasukan Jepang, dan untuk
menentang masuknya kembali kolonialisme Belanda (yang memboncengi kehadiran
tentara Inggris di Indonesia).
Pada 10 November pagi, tentara Inggris mulai melancarkan
serangan besar-besaran dan dahsyat sekali, dengan mengerahkan sekitar 30 000
serdadu, 50 pesawat terbang, dan sejumlah besar kapal perang.
Berbagai bagian kota Surabaya dihujani bom, ditembaki
secara membabi-buta dengan meriam dari laut dan darat. Ribuan penduduk menjadi
korban, banyak yang meninggal dan lebih banyak lagi yang luka-luka. Tetapi,
perlawanan pejuang-pejuang juga berkobar di seluruh kota, dengan bantuan yang
aktif dari penduduk.
Pihak Inggris menduga bahwa perlawanan rakyat Indonesia
di Surabaya bisa ditaklukkan dalam tempo 3 hari saja, dengan mengerahkan
persenjataan modern yang lengkap, termasuk pesawat terbang, kapal perang, tank,
dan kendaraan lapis baja yang cukup banyak.
Namun di luar dugaan, ternyata para tokoh-tokoh
masyarakat yang terdiri dari kalangan ulama' serta kiyai-kiyai pondok jawa
seperti KH. Hasyim Asy'ari, KH. Wahab Hasbullah serta kiyai-kiyai pesantren
lainnya mengerahkan santri-santri mereka dan masyarakat umum (pada waktu itu
masyarakat tidak begitu patuh kepada pemerintahan tetapi mereka lebih patuh dan
taat kepada para kiyai)juga ada pelopor muda seperti bung tomo dan lainnya.
sehingga perlawanan itu bisa bertahan lama, berlangsung dari hari ke hari, dan
dari minggu ke minggu lainnya. Perlawanan rakyat yang pada awalnya dilakukan
secara spontan dan tidak terkoordinasi, makin hari makin teratur. Pertempuran
besar-besaran ini memakan waktu sampai sebulan, sebelum seluruh kota jatuh di
tangan pihak Inggris.
Peristiwa berdarah di Surabaya ketika itu juga telah
menggerakkan perlawanan rakyat di seluruh Indonesia untuk mengusir penjajah dan
mempertahankan kemerdekaan. Banyaknya pejuang yang gugur dan rakyat yang
menjadi korban ketika itulah yang kemudian dikenang sebagai Hari Pahlawan.
Sumber : http://gudang-sejarah.blogspot.com/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar