Film yang di rilis tahun 2012 ini adalah film yang menarik, film dibuat berdasarkan adaptasi
dari novel berjudul yang sama hasil karya Dee pada tahun 2009. Novel yang
dilaunching pertama kalinya dengan cara yang unik yaitu dalam bentuk digital
sudah ditunggu-tunggu oleh banyak orang. Dee adalah nama nickname yang dipakai oleh Dewi Lestari dalam menulis
karya-karyanya. Sebagai mantan personil dari group vokal RSD (Rita Sida Dewi),
dia lebih dulu dikenal sebagai penyanyi dari pada penulis novel. Dia juga
bertindak sebagai penulis skenario dalam film yang di sutradarai oleh Hanung
Bramantyo ini. Sayangnya cerita yang diambil dari novel dengan tebal 444
halaman ini di buat dengan berseri sehingga terkesan diulur-ulur. Untuk film
seri pertama ini, setidaknya mengacu pada novel sampai pada halaman 328. Baik
Dee maupun Hanung keduanya menjadi cameo sebagai ibu Wanda dan penonton galery
lukisan. Istilah cameo mempunyai arti seorang yang terkenal ikut main walau
hanya selintas saja.
Penulis ingin mengulas tentang
filmnya dulu karena penulis menonton filmnya lebih dulu dari pada membaca
novelnya. Setelah itu baru mengulas kesesuaian cerita dan karakter yang ada
dibandingkan dengan novelnya karena penulis sudah membaca novelnya dalam waktu
1 hari. Jadi adil rasanya untuk menilai sebuah film bagus atau tidak, sesuai
atau tidak dengan ikut membaca novelnya juga.
Keenan yang diperankan oleh Adipati
Dolken tampak kurang sesuai dengan keadaan fisiknya yang seperti pecandu
narkoba dengan mata yang agak cekung serta cara berpakaiannya yang tidak
menunjukkan bahwa dia pernah tinggal lama di belanda. Cara bicara dan logatnya
sama sekali tidak menunjukkan kebarat-baratan atau kebelanda-belandaan
melainkan 100 persen Jakarta banget, walaupun dalam beberapa dialog dengan
ibunya menggunakan bahasa Belanda. Seharusnya meniru Wanda (Kimberly Rider)
yang menggunakan dialog dengan sisipan bahasa Inggris sekali-sekali. Cara
berpakaiannya sudah sesuai dengan gaya hidup yang dianutnya.
Kugy yang diperankan oleh Maudy
Ayunda bermain biasa-biasa saja. Tampilan wajahnya hanya cocok untuk suasana
yang gembira tetapi kurang cocok untuk suasana yang sedih atau menangis. Agak
susah membedakan dia lagi menangis atau tertawa karena ekspresi wajahnya hampir
sama dan kelopak mata yang hampir tak terlihat serta pipi yang cenderung
tembem. Hanya air mata saja yang bisa menunjukkan dia lagi menangis. Kalau
diperhatikan giginya selalu terlihat terus, padahal dalam adegan tertentu mulut
yang tidak bisa menutup adalah tidak cocok.
Noni yang diperankan oleh Sylvia
Fully bermain standard, tidak lebih dan tidak kurang. Sedangkan Eko yang
diperankan oleh Fauzan Smith bermain bagus dan hidup. Walaupun porsinya sedikit
namun karakternya sesuai sekali. Gaya bahasa dan cara bicaranya serta tingkah
polanya terlihat menarik.
Cerita yang disajikan oleh sang penulis
skenario terlihat datar dan kering serta hambar. Sang sutradara juga tidak bisa
mengatasinya dengan menghadirkan keunggulan-keunggulan visual dalam film. Tidak
ada konflik yang tampak disini. Orang tua yang marah karena anaknya tidak mau
menuruti keinginannya sudah biasa. Anak yang minggat dari rumah itu juga sudah
biasa. Seharusnya hal yang biasa ini bisa diolah menjadi hal yang luar biasa
namun hal itu tidak mampu dilakukan oleh sang sutradara. Keintiman Keenan dan
Kugy tidak bisa dimunculkan dan ditafsirkan dengan baik. Bosan dan jenuh karena
tidak ada lonjakan intensitas dalam drama yang disajikannya.
Alur yang melompat-lompat kesana kemari
tanpa ada esensi yang jelas agak membingungkan mau dibawa kemana arahnya. Mana
yang Jakarta dan mana yang Bandung agak susah mencernanya. Tampak bom bali 1
seolah-olah terjadi pada malam tahun baru padahal seharusnya bulan oktober.
Demikian juga disinggung mereka mau menonton film Matrix nya Keanu Reaves saat
mereka sudah kuliah. Padahal film tersebut rilis pada akhir Maret atau awal April
1999 sedangkan mereka kuliah mulai bulan Agustus 1999, sudah bubar bukan ?.
Terjemahan teks bahasa Inggrisnya
banyak yang salah sebagai contoh pasukan alit kadang kala diterjemahkan sebagai
wind troop (pasukan angin). Terjadi
pula teks yang muncul apa bicaranya apa, misalnya muncul teks go great miss Ugy, padahal dialognya
bicara lain.
Setelah membaca novelnya, penulis dapat
menilai ternyata apa yang ada dalam novelnya tidak seburuk seperti yang
digambarkan dalam filmnya. Banyak hal yang tidak ada didalam filmnya baik yang
bersifat minor maupun mayor. Ada juga penyampaian yang berbeda antara novel dan
filmnya sehingga mengurangi arti otentik itu sendiri dari sumbernya.
Pertama, latar belakang Keenan yang
tinggal di Belanda tidak ditampilkan padahal itulah bab pembuka dalam bukunya.
Kedua, pada film pertemuan pertama kalinya Keenan dan Kugy dengan cara Kugy
membathin dan mencarinya dengan tangan disamping kepala alias radar. Sedangkan
pada buku, dengan cara mengumumkan melalui mikrofon stasiun. Itupun sebenarnya
pertemuan yang kedua, pertemuan yang pertama dengan cara memanggil-manggil nama
Keenan namun karena gengsi mereka tidak tahu.
Ketiga, pada film Kugy tidak datang
pada pembukaan pameran lukisan di galery Warsita sedangkan di buku Kugy datang.
Keempat, di film mereka berempat menyebut dirinya geng pura-pura ninja yang
merupakan plesetan dari kura-kura ninja sedangkan di buku mereka berempat
menyebutnya dengan geng midnight karena seringnya mereka nonton midnight
berempat.
Kelima, pada film Remy pertama kali
membeli lukisan Keenan secara langsung bertatap muka sedangkan pada buku tidak
bertemu langsung karena tanpa setahu Keenan dan dia masih di Bandung. Keenam,
pada film lukisan yang terjual pertama kali adalah lukisan yang dibuat di Bali
sedangkan pada buku lukisan yang dibuat di Bandung.
Ketujuh, pada film Keenan belum
terkenal lalu balik dari bali ke Jakarta sedangkan pada buku Keenan sudah
terkenal baru balik dari Bali ke Jakarta. Kedelapan, pada film tidak terlihat
keintiman antara Kugy dan remy sedangkan pada buku terlihat sangat intim.
Kesembilan, di film ada dua ide yang
berbeda tentang iklan produk baru coklat sedangkan di buku ada tiga ide.
Kesepuluh, di film orang yang memberikan kotak ke Noni adalah pembantunya sedangkan
dibuku adalah mahasiswi baru.
Kesebelas, pada film sudah ada lukisan
karya Keenan yang dipasang sebelum Kugy kerja di Advocado sedangkan pada buku
setelah Kugy kerja disana. Keduabelas, di film tidak ada pamitan Kugy ke Noni
sebelum pindah ke Jakarta sedangkan di buku ada pamitan Kugy.
Ketigabelas, di buku ada kecemburuan
Noni kepada Kugy karena memergoki Eko merangkul Kugy setelah diumumkan lulus
ujian sedangkan di film tidak ada.
Dee sebagai penulis novel dan sekaligus
penulis skenarionya seharusnya mengimplementasikan semua imajinasinya yang ada
dalam novel ke dalam bentuk visualnya secara lengkap karena hanya dialah yang
tahu apa yang diinginkannya. Namun sayangnya duet dengan sang sutradara
tampaknya tidak berhasil menggarap sama dengan novelnya. Penulis berpendapat
film ini gagal mengusung roh dan jiwa dari novel itu sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar