Sebuah
film lokal Indonesia yang menjadi salah satu film favorit saya pribadi dan juga
film yang sangat membanggakan karena film ini bisa merambah kancah
international. Di awal mulanya film ini berjudul serbuan maut dan seiring
dengan peredarannya di luar negeri maka judulnya berubah menjadi The Raid :
Redemption. Film ini sempat memenangkan penghargaan people choice dalam ajang
Midnight Madness Award tahun 2011 di Toronto International Film Festival.
Meraih penghargaan Audience Award dan Critics Award di Dublin International
Film Festival tahun 2012.
Film
ini bercerita tentang serbuan pasukan khusus terhadap sebuah gedung bertingkat
yang dihuni oleh para penjahat dan para kriminal lainnya yang dikepalai oleh
Tama (Ray Sahetapy). Ray bermain cukup bagus dalam mengekspresikan karakternya
sebagai Tama, seorang boss mafia yang bergerak dalam bidang narkotika. Sikapnya
kalem namun sifatnya menyimpan kekejaman tiada ampun. Dengan tampang slengean
tapi mampu membunuh korbannya dengan memalu kepalanya langsung. Ekspresi wajah
dan penampilan sangat cocok sekali untuk menjadi seorang boss bertangan dingin.
Sayangnya,
skenario ceritanya lemah sekali sehingga dengan gampangnya seorang boss
bertangan dingin tertangkap basah tanpa perlawanan sama sekali. Padahal diawal
film Tama digambarkan sangat kejam. Seharusnya ada perlawanan atau pertarungan
baik dengan senjata atau tangan kosong. Atau setidak-tidaknya kejar-kejaran dan
sejenisnya. Karena ini boss penjahat lho, pimpinan dari penjahat-penjahat
yang menghuni di seluruh gedung bertingkat tsb. Dialog-dialog
pemainnya pun terasa kaku, kecuali Tama yang sesuai karakternya.
Film
ini sudah mengalami peningkatan dari film sebelumnya yang digarap oleh Gareth
Evans berjudul Merantau. Warna darah sudah lumayan bagus, tidak seperti film
sebelumnya yang berwarna merah muda alias pink. Demikian juga perkelahiannya
juga sudah lumayan dibanding film sebelumnya. Namun bila dibandingkan dengan
Hollywood teknik perkelahiannya tentu masih kalah jauh. Juga bila dibandingkan
dengan Mandarinwood atau Thailandwood pun masih kalah. Jadi Gareth Evans mesti
harus meningkatkan lagi teknik perkelahiannya.
Beberapa
perkelahian terlihat agak kaku terutama aktor figurannya. Ada yang terlihat
duduk dengan menyandarkan kepala ke tembok, walaupun sudah mati. Ada preman
dari daerah etnis timur tertentu yang kalau bicara bukannya terlihat seram
malah terlihat lucu. Terlalu banyak teriak-teriak dalam berkelahi seperti film
jaman kuno. Dalam perkelahiannya Rama yang diperankan oleh Iko Uwais hanya
sekedar bak bik buk saja. Tidak ada yang bersifat seni atau art seperti pada film
silat mandarin. Saya tidak melihat ada unsur pencak silat disini seperti yang
digadang-gadang sebelumnya. Tidak ada gerakan slow motion dalam pertarungannya,
padahal model semacam itu dapat menambah bumbu perkelahian dan keindahan
pertarungan.
Ada satu adegan yang sepertinya miss, yaitu pada saat sopir diberondong tembakan didalam mobil, ternyata dilatar belakangnya ikut terekam gambar lalu lintas kendaraan yang berseliweran normal. Bayangkan ratusan peluru dimuntahkan senjata otomatis tentu akan terdengar oleh orang-orang disekitarnya dan secara normal akan mengundang perhatian untuk memanggil polisi atau aparat keamanan.
Ada satu adegan yang sepertinya miss, yaitu pada saat sopir diberondong tembakan didalam mobil, ternyata dilatar belakangnya ikut terekam gambar lalu lintas kendaraan yang berseliweran normal. Bayangkan ratusan peluru dimuntahkan senjata otomatis tentu akan terdengar oleh orang-orang disekitarnya dan secara normal akan mengundang perhatian untuk memanggil polisi atau aparat keamanan.
Hal-hal yang menarik adalah pada saat
adegan awal yaitu ada anak kecil yang ditembak oleh Wahyu (Piere Gruno).
Kemudian adegan saling menodong antara Jaka (Joe Taslim) yang menggunakan pisau
dan lawannya yang menggunakan pistol. Selebihnya biasa-biasa saja.
Sosok istri Rama yang ditampilkan di sesi pembuka
seharusnya tidak perlu ada karena tidak mempengaruhi cerita sama sekali. Sosok
Reza yang merupakan boss dari Wahyu tidak dijelaskan lebih lanjut siapakah dia,
seorang polisi kah atau penjahat lainnya atau pejabat pemerintah. Satu hal yang
cukup sepele namun bisa merusak segalanya adalah salah tagline. Disebutkan tagline film ini adalah ”1 ruthless crime, 20
elite cops, 30 floors of chaos”. Padahal dalam filmya lantai tertinggi yang
ketangkap kamera dan sesi cerita adalah lantai 15 tempat boss Tama tinggal.
Sedangkan kalau diperhatikan posternya sendiri kurang lebih hanya 20 lantai
saja.
Film
ini tidak cocok untuk anak-anak dan sebaiknya penonton adalah yang berusia
17 tahun keatas karena film ini mengandung banyak kekerasan dan adegan berdarah
serta kata-kata kotor.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar